Seperti orang bilang, hidup ini memang tidak
bisa ditebak. Entah apa dan bagaimana kejadian yang dialami seseorang
beberapa saat lagi sungguh tidak bisa ditebak. Seperti apa yang dialami
Ida Panditha Mpu Budha Alit Maharsi Parama Daksa dari Griya Agung Budha
Salahin, Desa Tanggahan Tengah, Perbekelan Demulih, Susut Bangli.
Lahir di keluarga sederhana yang nota bene
adalah pedagang. Singkatnya, apa yang dilakoni anak-anak kebanyakan,
itulah juga yang dia lakukan. Tidak ada tanda-tanda keanehan dalam diri
seorang sulinggih Kanya ini. Sebelumnya dia berhasil menamatkan diri
hingga sekolah Menengah Kejuruan yang ada di Bangli dengan tujuan mudah
mendapatkan pekerjaan.
Sebelum tamat, sebagai anak yang termasuk
pintar, hingga Ida akhirnya terpilih mewaliki Propinsi Bali untuk
pertukaran pemuda. Singkat cerita, setelah tamat ada keinginan kuat
untuk bekerja hingga akhirnya diikutilah kegiatan testing ke Bintan.
Namun setelah beberapa lama pekerjaan tak kunjung datang. Hingga
akhirnya kebingungan mulai menyelimuti, Maharsi Alit. Kebingunan ini
muncul diperkirakan sekitar awal Januari 2006.
Kemudian dia pulang ke Bali, dan mencoba
mencari pekerjaan ke sana-ke mari. Namun seperti di atas, hasilnya
nihil. “Tiang merasa kecewa saat itu, malu dengan keluarga, diri sendiri
dan teman-teman,” ujar kelahiran (walaka) 14 Maret 1985 ini. Ida
merasakan ketidak-adilan manakala teman-temannya yang lain mendapat
kerja namun dia tidak sama sekali. Kebingungan terus melanda.
Karena bingung, sekitar September 2006,
melalui Mangku Alit (saat ini menjadi bagian dari Kesulinggihannya yang
membantu dalam setiap pelaksanaan yadnya Ida Sulinggih_red) yang
merupakan kakak sepupunya Ida disuruh untuk melaksanakan pelukatan.
Akhirnya hal inipun dilakoni. Namun kebingungan makin menjadi. Hingga
akhirnya disarankan lagi untuk melaksanakan meditasi. Sebagai anak muda,
saat itu, Ida sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan Mangku
Alit. Yang ada dalam benaknya, meditasi adalah sebuah ritual yang rumit
dan mesti dilakukan di tengah hutan seperti cerita-cerita kuno.
Setelah diterangkan, maka mengertilah
sedikit mengenai meditasi ini. Setelah meditasi kemudian diajak Mangku
Alit untuk malukat di Pura. Nah terjadi keanehan di sini. Di mana, Ida
kerauhan tidak jelas. Menurut Mangku Alit yang pada saat diwawancarai
ikut mengabih Ida Maharsi Alit, mengatakan kebingungan. Pada sekitar
setengah sebelas malam diajak langsung ke daerah Klungkung untuk minta
pertolongan pada orang pintar. Ida Maharsi mengaku tidak mengerti apa
yang dikatakan orang tersebut yang menyatakan, Ida hidup dalam dua
dunia. Mangku Alit sendiri juga tidak mengetahui apa yang dikatakan
balian tersebut.
Meditasi, Weda Turun
Kemudian Ida juga disuruh untuk meditasi
demi sebuah ketenangan. Awal meditasi memang biasa saja. Namun kemudian
setelah meditasi yang kelima, Mangku Alit kembali kebingungan di mana
Ida mengeluarkan uncaran Weda dan bahkan langsung melaksanakan mudra
(gerakan tangan saat ngaweda). “Apa yang dirasakan ini memang tiang
ketahui, namun awalnya kata-kata dan tindakan gerakan tangan ini tidak
terasa dan secara sengaja dilakukan,” ujar Ida Maharsi Alit yang juga
mengaku senang melakukannya.
Waktu pun terus berjalan, semakin hari
semakin banyak weda yang turun dan Mangku Alit sendiri saat itu mengaku
merasa sangat bingung akan kejadian ini. Dengan derasnya wahyu Weda
tersebut turun langsung tersimpan dalam memori Ida Maharsi. Bahkan
setiap pukul 5 sore, Ida diboyong keluar untuk mencari orang-orang sakit
sekadar menanyakan hal yang terjadi ini.
Nah pada saat rerahinan Tilem, Ida
mengatakan berkeinginan untuk madiksa. Kontan saja Mangku Alit tersentak
mendengar keinginan ini. Namum, setelah sembayang atau meditasi selesai
keinginan tersebut hilang dan Ida sendiri langsung tidak mau.
Bagi siapa saja akan terkejut mendengar
keinginan yang bisa dikatakan aneh ini. Selain terbentur usia, status,
dan juga kontroversi di masyarakat nantinya. Masalah kerauhan sering
kali terjadi namun jarang ditanggapi keluarga.
Ada keinginan yang diikuti yakni
melaksanakan Panewasrayaan (pergi mencari tempat suci keramat) seperti
ke Puncak Gunung Agung, Batu Karu, Pulaki, Melanting, Lempuyang, dan
juga Palinggih Siwa Pasupati (Ida Bhatara Lingsir di Serokadan).
Mati Berkali-kali
Setiap melaksanakan persembahyangan
kerap ada perintah-perintah gaib yang intinya agar Ida segera malinggih
atau madiksa. Saat di Batu Karu sendiri, ada pawisik, ada paica berupa
Manik Asta Gina di rumah bersangkutan dan saat ini tidak diketahui.
Karena dinyatakan dalam pawisik yang mendapatkan adalah almarhum
bapaknya. Karena Manik Asta Gina inilah wahyu weda yang turun tidak
hilang dan tersimpan dalam memori. Dan oleh karena itu diharuskan untuk
malinggih dan bergelar Maharsi. Keluarga bingung. Kebanyakan dari mereka
tidak setuju. Selain kasihan dengan Ida juga kepercayaan di masyarakat
nantinya. Dan yang utama adalah dana untuk upacara tersebut.
Kemudian tangkil ke Griya Gede Nongan
Karangasem ditanyakan kemudian Ida Pedanda di Nongan juga mengecek Ida
Maharsi dan memang tidak diragukan lagi Ida harus madiksa.
Kemudian di pucak Gunung Agung sendiri juga
sempat dijanjikan akan segera melaksanakan padiksaan. Namun setelah
turun gunung sampai di bawah hal ini diingkari lagi. Hingga akhirnya
besoknya sore sekitar jam tujuh malam Ida Maharsi yang saat walaka
bernama Komang Widiantari terbujur kaku alias meninggal beneran. Kuku
menguning dan kulit mulai mengkisut karena sudah hampir empat jam lebih
dalam keadaan seperti ini.
Di apun ditangisi beramai-ramai. Dalam
keberadaan matinya ini, Ida saat itupun merasakan dirinya memang terasa
ada yang menarik paksa dan membawa naik. Dilihatnya keluarganya
menangisi dirinya namun tidak berdaya untuk berkata apapun dalam
kematiannya ini.
Demikian dulu, untuk minggu depannya
kenangan Ida Mahasri akan dilanjutkan dengan kegiatan padiksaan dan juga
mengenai pelaksanaan yadnya yang sudah dilaksanakan. Tunggu kisah
sesungguhnya ini berikutnya.
Dalam mimpi yang tampak nyata tersebut Ibu
yang dilihatnya itu laksana ibunya sendiri. Bahkan Ida pun merasakan ada
kedekatan yang besar setelah melihat ibu tersebut walaupun hanya nampak
sebagian saja (ditindih batu besar). Ibu itu memohon belas kasihan
karena sudah lama menantikan kelahiran Maharsi dan menjemputnya untuk
terbebas dari ‘hukuman’ yang berat itu. “Ning tulung ibu sudah
lama ditindih batu besar ini, hanya cening yang bisa membantu,” demikian
kata ibu tersebut, ditirukan Ida Maharsi dengan memelas.
Setelah itu ada sabda langit (Ida Bhatara)
“Jika mau melaksanakan tugas untuk madiksa dan menjadi sulinggih, maka
Ibu ini akan terlepas,” kata Maharsi menirukan sabda yang turun langsung
itu. setelah sadar kemudian Ida berfikir-fikir kembali untuk madiksa.
Nah setelah yang kedua kalinya baru keinginannya 100% mau menjadi
sulinggih apapun resikonya.
Nah setelah mau, ada kendala lagi di
keluarga, di mana menurut Mangku Alit, sebagai krama biasa (sudra) sulit
rasanya menjadi Sulinggih apalagi tidak ada dasar pemangkunya terlebih
dahulu. Selain itu juga beratnya di ongkos. Karena masalah padiksaaan
ini akan menghabiskan dana yang tidak sedikit dan bahkan harus memeras
keringat ratusan orang biar mendapatkan dana yang sebesar itu. Karena
kemauan yang keras dan persetujuan keluarga, akhirnya Mangku Alit
berusaha keras untuk mendapatkan dana. Entah mencari sumbangan atau
apapun. Nah kebetulan ada sameton dari Pasek Salahin yang memang berduit
akan melaksanakan upacara di rumahnya. Dia adalah Bapak Ir Made
Budiana, yang Perbekel Peliatan, Ubud. Setelah diberitahukan keinginan
tersebut, dia memang menyetujuinya, selain keinginan ada sulinggih dari
Pasek Salahin juga memang untuk beryadnya.
Namun dia masih ragu dengan Ida Maharsi
Alit. Mengapa demikian, karena diketahui Ida Maharsi saat nguncarang
weda tersebut dikiranya hanyalah kerauhan biasa dan setelah itu tidak
bisa lagi. Namun setelah diajak sembahyang ke Pura Luhur Batu Karu, baru
percaya 100 %. Di mana dia menyaksikan langsung Ida memang benar-benar
bisa dan meresap di otak. Bukan karena kalinggihan yang kemudian
berlanjut dan lupa setelah di bale pawedaan.
Selain itu juga dibantu dengan istri dari
Made Budiana sendiri yang mengalami kerauhan dan menyuruh dia untuk
bertanggung jawab untuk semuanya ini. Akhirnya kegiatan padiksan pun
direncanakan.
Mengenai persetujuan dari legalitas hukum
sudah diterima oleh pihak PHDI Bangli. Selain itu juga mendapat
persetujuan dari sulinggih-sulinggih. 21 hari sebelum pelaksanaan
pediksaan dilaksanakan terlebih dahulu upacara dwijati menjadi Ida
Bhawati di Griya Agung Padang Tegal, Gianyar. Selain itu masalah
pendanaan sudah ditangani langsung Made Budiana sendiri.
Saat Muput Jadi Tontonan Bak Artis
Kemudian dilanjutkan dengan upacara
padiksannya pada 14 Maret 2006 di Griya Agung Budha Salahin, Tanggahan
Tengah, Susut Bangli. Nuansa saat itu menurut Mangku Alit benar-benar
luar biasa getarannya. Untuk nyeda raganya, memang benar-benar mati
dalam semalam. Hal ini diakui oleh Mangku Alit yang saat ini ngabih Ida Maharsi.
Untuk Nabe napak adalah Ida Pandita Mpu Nabe
Acarya Daksa. Sementara Guru Waktranya adalah Ida Bhagawan Bajra Sandi,
Griya Taman Sari Tegak, Klungkung dan Guru saksinya adalah Ida Pandita
Mpu Nabe Purwa Nata dari Singaraja.
Nah kemudian setelah melaksanakan padiksaan,
Komang Widiantari lahir kembali dengan bhiseka Ida Panditha Mpu Budha
Alit Maharsi Paramadaksa untuk selamanya. Kehidupan di griya kemudian
berjalan sebagaimana biasanya griya lainnya di Bali. Krama tidak pernah
ada yang ragu untuk mapinunas di griya.
Dengan didampingi Mangku Alit yang kebetulan
diangkat menjadi kakak angkatnya dulu. Ida merasa lebih pede untuk
melaksanakan Yadnya. Pelaksanaan Weda benar-benar sempurna. Di mana Weda
ada dua yakni Sruti (uncaran yang dilakoni oleh Sulinggih) dan Smerti
(berupa sastra untuk pelaksanaan yadnya yang dilakoni oleh Mangku Alit).
Mereka berdua benar-benar bersinergi untuk
itu. Bahkan dalam 6 bulan Ida sudah mampu ngangganin karya agung di
daerahnya, tanpa rasa ragu. Bahkan saat ini pada Purnamaning Kalima
beberapa waktu lalu juga ngangganin karya di Pura Pasek di Desa Pau,
Klungkung. Menurut Mangku Alit, saat muput Ida seperti artis, Kenapa?
Selain diperhatikan oleh krama dalam tatacaranya yang layaknya sudah
tiga puluh tahun nyulinggih. Bahkan juga sulinggih lain yang baru duduk
berdampingan saja tertegun melihat kepiawiannya dalam ngaweda.
Wedanya berubah-ubah, namun tetap dalam
makna yang sebenarnya. Bahkan setelah satu menit yang lalu ngaweda dan
kemudian ngaweda yang selanjutnya dengan weda yang sama uncaran dan
ucapannyapun berbeda namun memiliki makna yang sepenuhnya sama. Setelah 3
tahun malingih, Weda yang turun semakin banyak. Ida pun mampu membantu
kesulitan krama baik masalah banten apapun dan keinginan apapun kecuali
minta uang. Dengan sinergi Mangku Alit dan Ida maka keinginan krama bisa
terpecahkan seperti nunas padewasan, tenungan dan berbagai hal lain
yang tentunya untuk kebaikan. Krama ingin bukti silahkan tangkil ke
griya, lihat kepiawian ngaweda (cari pas saat melaksanakan puja di pagi
hari sampai siang).
Posted by 7:52 AM
, Published at