Kisah Misteri dan Magis Mediksa Usia Muda, Ida Resi Istri berumur 21 Tahun

Kisah Misteri dan Magis Mediksa Usia Muda, Ida Resi Istri berumur 21 Tahun

Diawali dengan kebingungan berlanjut menjadi kegiatan yang tidak dimengerti Maharsi Alit. Saat melaksanakan meditasi, tiba-tiba langsung ngaweda dan melakukan mudra. Berkali-kali ingkari janji untuk madiksa hingga akhirnya kematian sempat menjemputnya. Bagaimana kisah nyata kehidupan Maharsi Alit ini? Berikut paparan selengkapnya.
Seperti orang bilang, hidup ini memang tidak bisa ditebak. Entah apa dan bagaimana kejadian yang dialami  seseorang beberapa saat lagi sungguh tidak bisa ditebak. Seperti apa yang dialami  Ida Panditha Mpu Budha Alit Maharsi Parama Daksa dari Griya Agung Budha Salahin, Desa Tanggahan Tengah, Perbekelan Demulih, Susut Bangli.
Lahir di keluarga sederhana yang nota bene adalah pedagang. Singkatnya, apa yang dilakoni anak-anak kebanyakan, itulah juga yang dia lakukan. Tidak ada tanda-tanda keanehan dalam diri seorang sulinggih Kanya ini. Sebelumnya dia berhasil menamatkan diri hingga sekolah Menengah Kejuruan yang ada di Bangli dengan tujuan mudah mendapatkan pekerjaan.
Sebelum tamat, sebagai anak yang termasuk pintar, hingga Ida akhirnya terpilih mewaliki Propinsi Bali untuk pertukaran pemuda. Singkat cerita, setelah tamat ada keinginan kuat untuk bekerja hingga akhirnya diikutilah kegiatan testing ke Bintan. Namun setelah beberapa lama pekerjaan tak  kunjung datang. Hingga akhirnya kebingungan mulai menyelimuti, Maharsi Alit. Kebingunan ini muncul diperkirakan sekitar awal Januari 2006.
Kemudian dia pulang ke Bali, dan mencoba mencari pekerjaan ke sana-ke mari. Namun seperti di atas, hasilnya nihil. “Tiang merasa kecewa saat itu, malu dengan keluarga, diri sendiri dan teman-teman,” ujar kelahiran (walaka) 14 Maret 1985 ini. Ida merasakan ketidak-adilan manakala teman-temannya yang lain mendapat kerja namun dia tidak sama sekali. Kebingungan terus melanda.
Karena bingung, sekitar September 2006, melalui Mangku Alit (saat ini menjadi bagian dari Kesulinggihannya yang membantu dalam setiap pelaksanaan yadnya Ida Sulinggih_red) yang merupakan kakak sepupunya Ida disuruh untuk melaksanakan pelukatan. Akhirnya hal inipun dilakoni. Namun kebingungan makin menjadi. Hingga akhirnya disarankan lagi untuk melaksanakan meditasi. Sebagai anak muda, saat itu, Ida sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan Mangku Alit. Yang ada dalam benaknya, meditasi adalah sebuah ritual yang rumit dan mesti dilakukan di tengah hutan seperti cerita-cerita kuno.
Setelah diterangkan, maka mengertilah sedikit mengenai meditasi ini. Setelah meditasi kemudian diajak Mangku Alit untuk malukat di Pura. Nah terjadi keanehan di sini. Di mana, Ida kerauhan tidak jelas. Menurut Mangku Alit yang pada saat diwawancarai ikut mengabih Ida Maharsi Alit, mengatakan kebingungan. Pada sekitar setengah sebelas malam diajak langsung ke daerah Klungkung untuk minta pertolongan pada orang pintar. Ida Maharsi mengaku tidak mengerti apa yang dikatakan orang tersebut yang menyatakan, Ida hidup dalam dua dunia. Mangku Alit sendiri juga tidak mengetahui apa yang dikatakan balian tersebut.
Meditasi, Weda Turun
Kemudian Ida juga disuruh untuk meditasi demi sebuah ketenangan. Awal meditasi memang biasa saja. Namun kemudian setelah meditasi yang kelima, Mangku Alit kembali kebingungan di mana Ida mengeluarkan uncaran Weda dan bahkan langsung melaksanakan mudra (gerakan tangan saat ngaweda). “Apa yang dirasakan ini memang tiang ketahui, namun awalnya kata-kata dan tindakan gerakan tangan ini tidak terasa dan secara sengaja dilakukan,” ujar Ida Maharsi Alit yang juga mengaku senang melakukannya.
Waktu pun terus berjalan, semakin hari semakin banyak weda yang turun dan Mangku Alit sendiri saat itu mengaku merasa sangat bingung akan kejadian ini. Dengan derasnya wahyu Weda tersebut turun langsung tersimpan dalam memori Ida Maharsi. Bahkan setiap pukul 5 sore, Ida diboyong keluar untuk mencari orang-orang sakit sekadar menanyakan hal yang terjadi ini.
Nah pada saat rerahinan Tilem, Ida mengatakan berkeinginan untuk madiksa. Kontan saja Mangku Alit tersentak mendengar keinginan ini. Namum, setelah sembayang atau meditasi selesai keinginan tersebut hilang dan Ida sendiri langsung tidak mau.
Bagi siapa saja akan terkejut mendengar keinginan yang bisa dikatakan aneh ini. Selain terbentur usia, status, dan juga kontroversi di masyarakat nantinya. Masalah kerauhan sering kali terjadi namun jarang ditanggapi keluarga.
Ada keinginan yang diikuti yakni melaksanakan Panewasrayaan (pergi mencari tempat suci keramat) seperti ke Puncak Gunung Agung, Batu Karu, Pulaki, Melanting, Lempuyang, dan juga Palinggih Siwa Pasupati (Ida Bhatara Lingsir di Serokadan).
Mati Berkali-kali
Setiap melaksanakan persembahyangan kerap ada perintah-perintah gaib yang intinya agar Ida segera malinggih atau madiksa. Saat di Batu Karu sendiri, ada pawisik,  ada paica berupa Manik Asta Gina di rumah bersangkutan dan saat ini tidak diketahui. Karena dinyatakan dalam pawisik yang mendapatkan adalah almarhum bapaknya. Karena Manik Asta Gina inilah wahyu weda yang turun tidak hilang dan tersimpan dalam memori. Dan oleh karena itu diharuskan untuk malinggih dan bergelar Maharsi. Keluarga bingung. Kebanyakan dari mereka tidak setuju. Selain kasihan dengan Ida juga kepercayaan di masyarakat nantinya. Dan yang utama adalah dana untuk upacara tersebut.
Kemudian tangkil ke Griya Gede Nongan Karangasem ditanyakan kemudian Ida Pedanda di Nongan juga mengecek Ida Maharsi dan memang tidak diragukan lagi Ida harus madiksa.
Kemudian di pucak Gunung Agung sendiri juga sempat dijanjikan akan segera melaksanakan padiksaan. Namun setelah turun gunung sampai di bawah hal ini diingkari lagi. Hingga akhirnya besoknya sore sekitar jam tujuh malam Ida Maharsi yang saat walaka bernama Komang Widiantari terbujur kaku alias meninggal beneran. Kuku menguning dan kulit mulai mengkisut karena sudah hampir empat jam lebih dalam keadaan seperti ini.
Di apun ditangisi beramai-ramai. Dalam keberadaan matinya ini, Ida saat itupun merasakan dirinya memang terasa ada yang menarik paksa dan membawa naik. Dilihatnya keluarganya menangisi dirinya namun tidak berdaya untuk berkata apapun dalam kematiannya ini.
Demikian dulu, untuk minggu depannya kenangan Ida Mahasri akan dilanjutkan dengan kegiatan padiksaan dan juga mengenai pelaksanaan yadnya yang sudah dilaksanakan. Tunggu kisah sesungguhnya ini berikutnya.
Dalam mimpi yang tampak nyata tersebut Ibu yang dilihatnya itu laksana ibunya sendiri. Bahkan Ida pun merasakan ada kedekatan yang besar setelah melihat ibu tersebut walaupun hanya nampak sebagian saja (ditindih batu besar). Ibu itu memohon belas kasihan karena sudah lama menantikan kelahiran Maharsi dan menjemputnya untuk terbebas dari ‘hukuman’ yang berat itu. “Ning tulung ibu sudah lama ditindih batu besar ini, hanya cening yang bisa membantu,” demikian kata ibu tersebut, ditirukan Ida Maharsi dengan memelas.
Setelah itu ada sabda langit (Ida Bhatara) “Jika mau melaksanakan tugas untuk madiksa dan menjadi sulinggih, maka Ibu ini akan terlepas,” kata Maharsi menirukan sabda yang turun langsung itu. setelah sadar kemudian Ida berfikir-fikir kembali untuk madiksa. Nah setelah yang kedua kalinya baru keinginannya 100% mau menjadi sulinggih apapun resikonya.

Nah setelah mau, ada kendala lagi di keluarga, di mana menurut Mangku Alit, sebagai krama biasa (sudra) sulit rasanya menjadi Sulinggih apalagi tidak ada dasar pemangkunya terlebih dahulu. Selain itu juga beratnya di ongkos. Karena masalah padiksaaan ini akan menghabiskan dana yang tidak sedikit dan bahkan harus memeras keringat ratusan orang biar mendapatkan dana yang sebesar itu. Karena kemauan yang keras dan persetujuan keluarga, akhirnya Mangku Alit berusaha keras untuk mendapatkan dana. Entah mencari sumbangan atau apapun. Nah kebetulan ada sameton dari Pasek Salahin yang memang berduit akan melaksanakan upacara di rumahnya. Dia adalah Bapak Ir Made Budiana, yang Perbekel Peliatan, Ubud. Setelah diberitahukan keinginan tersebut, dia memang menyetujuinya, selain keinginan ada sulinggih dari Pasek Salahin juga memang untuk beryadnya.
Namun dia masih ragu dengan Ida Maharsi Alit. Mengapa demikian, karena diketahui Ida Maharsi saat nguncarang weda tersebut dikiranya hanyalah kerauhan biasa dan setelah itu tidak bisa lagi. Namun setelah diajak sembahyang ke Pura Luhur Batu Karu, baru percaya 100 %. Di mana dia menyaksikan langsung Ida memang benar-benar bisa dan meresap di otak. Bukan karena kalinggihan yang kemudian berlanjut dan lupa setelah di bale pawedaan.
Selain itu juga dibantu dengan istri dari Made Budiana sendiri yang mengalami kerauhan dan menyuruh dia untuk bertanggung jawab untuk semuanya ini. Akhirnya kegiatan padiksan pun direncanakan.
Mengenai persetujuan dari legalitas hukum sudah diterima oleh pihak PHDI Bangli. Selain itu juga mendapat persetujuan dari sulinggih-sulinggih.  21 hari sebelum pelaksanaan pediksaan dilaksanakan terlebih dahulu upacara dwijati menjadi Ida Bhawati di Griya Agung Padang Tegal, Gianyar. Selain itu masalah pendanaan sudah ditangani langsung  Made Budiana sendiri.
Saat Muput Jadi Tontonan Bak Artis
Kemudian dilanjutkan dengan upacara padiksannya pada 14 Maret 2006 di Griya Agung Budha Salahin, Tanggahan Tengah, Susut Bangli. Nuansa saat itu menurut Mangku Alit benar-benar luar biasa getarannya. Untuk nyeda raganya, memang benar-benar mati dalam semalam. Hal ini diakui oleh Mangku Alit yang saat ini ngabih Ida Maharsi.
Untuk Nabe napak adalah Ida Pandita Mpu Nabe Acarya Daksa. Sementara Guru Waktranya adalah Ida Bhagawan Bajra Sandi, Griya Taman Sari Tegak, Klungkung dan Guru saksinya adalah Ida Pandita Mpu Nabe Purwa Nata dari Singaraja.
Nah kemudian setelah melaksanakan padiksaan, Komang Widiantari lahir kembali dengan bhiseka Ida Panditha Mpu Budha Alit Maharsi Paramadaksa untuk selamanya. Kehidupan di griya kemudian berjalan sebagaimana biasanya griya lainnya di Bali. Krama tidak pernah ada yang ragu untuk mapinunas di griya.
Dengan didampingi Mangku Alit yang kebetulan diangkat menjadi kakak angkatnya dulu. Ida merasa lebih pede untuk melaksanakan Yadnya. Pelaksanaan Weda benar-benar sempurna. Di mana Weda ada dua yakni Sruti  (uncaran yang dilakoni oleh Sulinggih) dan Smerti (berupa sastra untuk pelaksanaan yadnya yang dilakoni oleh Mangku Alit).
Mereka berdua benar-benar bersinergi untuk itu. Bahkan dalam 6 bulan Ida sudah mampu ngangganin karya agung di daerahnya, tanpa rasa ragu. Bahkan saat ini pada Purnamaning Kalima beberapa waktu lalu juga ngangganin karya di Pura Pasek di Desa Pau, Klungkung. Menurut Mangku Alit, saat muput Ida seperti artis, Kenapa?  Selain diperhatikan oleh krama dalam tatacaranya yang layaknya sudah tiga puluh tahun nyulinggih. Bahkan juga sulinggih lain yang baru duduk berdampingan saja tertegun melihat kepiawiannya dalam ngaweda.
Wedanya berubah-ubah, namun tetap dalam makna yang sebenarnya. Bahkan setelah satu menit yang lalu ngaweda dan kemudian ngaweda yang selanjutnya dengan weda yang sama uncaran dan ucapannyapun berbeda namun memiliki makna yang sepenuhnya sama. Setelah 3 tahun malingih, Weda yang turun semakin banyak. Ida pun mampu membantu kesulitan krama baik masalah banten apapun dan keinginan apapun kecuali minta uang. Dengan sinergi Mangku Alit dan Ida maka keinginan krama bisa terpecahkan seperti nunas padewasan, tenungan dan berbagai hal lain yang tentunya untuk kebaikan. Krama ingin bukti silahkan tangkil ke griya, lihat kepiawian ngaweda (cari pas saat melaksanakan puja di pagi hari sampai siang).


Posted by Unknown, Published at 7:52 AM
Copyright © 2013 HollaBali | thanks to google