Kisah Fenomenal dan Profil Arya Wedakarna

Kisah Fenomenal dan Profil Arya Wedakarna

Saya mungkin orang yang paling beruntung, karena bisa langsung bertemu dengan sosok Wedakarna. Dan bangga memiliki sosok tokoh hebat muda,”kata salah satu mahasiswi dengan nada gugup. Ia adalah salah satu peserta yang hadir dari sekian undangan saat sarasehan Ketahanan Ekonomi Bali, Jumat ( 5/5) lalu di Royal Garden, Sanur.

Dari Lima Speaker yang ada, mulai dari Rektor Universitas Udayana, PHDI, Majelis Desa Pakraman (MDP), Deputi BI Denpasar, dan Rektor Universitas Mahendradata, siapa lagi kalau bukan, Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Vedakarna MWS III.
Pada sarasehan tersebut banyak mengupas mengenai sendi ekonomi masyarakat Bali yang terpuruk jauh, dan harus kalah dengan para pendatang dengan “angkuhnya” memonopoli lahan dan bidang ekonomi. Pada sesi tersebut, Arya Wedakarna mendapatkan kesempatan memberikan pandangan terhadap realitas tersebut diatas.
Seperti biasa, dan sudah diketahui publik di Bali. Gagasan dan ide-ide brilian yang konon disebut sebagai Rektor termuda di negeri ini mengalir deras tanpa koma. Lantang menyurakan kekalahan Bali dari segala lini. Baginya, itu akibat grand design perekonomian Bali belum jelas dan absurd. Belum lagi, “yel-yelnya”selama ini yang ia suarakan agar yadnya di Bali tak meriah tanpa pemaknaan yang jelas. Harus sesegara mungkin disederhanakan. Titik!
Semua peserta yang hadir pada kegiatan tersebut, diam, hening, melongo. Ada yang menganga melihat sosok “raja Bali” ini yang belakangan mendapatakan pro-kontra. Dualitas! Ada terbahak mendengar anekdognya, diiringi suara tangan yang mengatup dengan kencang. Diantara pemateri yang hadir, Wedakarna nampak mendapatkan perhatian yang lebih. Entah karena ketampanannya atau memang hot isu dengan agenda yang seringkali bertebaran di media masa di Bali, memuat tentang dirinya.
Usai pemaparan dari olah pikir alumini Tri Sakti tersebut, respon yang lainnya mengangguk tanpa ragu. Terlebih para mahasiswi yang hadir, dari awal hingga akhir tak lepas dari sorotan Pria yang pernah menjadi Coverboy Majalah Aneka Yess Jakarta 2003 silam tersebut.
Lain halnya dengan para peserta yang memiliki usia kira-kira 30 tahun keatas, nampak berbinar, nyengir sembari dihadiahi tepuk tangan penuh harapan. Usai sarasehan, nyeletuk salah satu peserta dari mahasiswi yang duduk paling belakang. “Aku nge-fans banget ama dia,”ucanya menimpali mahasiswa lain yang juga berbinar menyaksikan aksi Wedakarna dalam sarasehan itu.
“Kita butuh orang-rang seperti ini di Bali, Revolusiner, harus ada yang frontal,” kata salah satu pegawai bank penuh semangat kepada saya. Untuk menyeimbangkan, saya pilih mengangguk.
Sosok Fenomenal
Arya Wedakarna atau lengkapnya Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Suyasa III, seringkali menjadi hot isu dikalangan pemerhati, pengamat, akdemisi, lembaga keumatatan, mahasiswa hingga pelajar. Mungkin saya klaim keterlaluan bagi anda, yang tak tahu sosok ini apalagi melek IT.
Sisi lainnya seringkali menjadi sarapan pagi. Mulai pandangan dari A-Z jamak di temukan. Bagi yang kontra dengan aksinya, mungkin tokoh muda berpengaruh satu ini seringkali mendapat cibiran yang tak enak. Kadang kala saya risih harus memilih dan memilahnya. Yang saya ketahui, ketika tokoh tersebut melakukan kerjasama yang mengatsnamakan Bali dan Negara ini, cibiran negatif datang begitu deras.
Muka sumringah, mengumpat. Energi negatif yang dikeluarkan oleh orang tadi begitu nampak. Terlebih auranya. Mengerikkan! “Cari sensasi” ungkap salah teman yang membaca info seremonial di salah satu koran beberapa saat yang lalu. Kalau sensasinya bermanfaat dan menginspirasi, bagaimana ya?
“Dia kan banyak duit, jadi wajarlah. Diakan jadi rektor dan pengurus partai, wajarlah. Diakan keturunan bangawan, jadi warjalah.” Hal ini lumrah terdengar, bahkan embel-embel lainnya pun mengikuti. Bahkan saya sulit membedakan, (orang di posisi yang kontra dengannya) antara kritikan dan dendam. Beda tipis, 11-12.
Beda halnya dengan mereka yang pro dengan aksi Wedakarna. Aura dan energi positif terpancar. Yang mendengarkan turut berbahagia sehingga terdorong untuk melakukan lebih baik lagi, kalau bisa, melebihinya. Uraian singkat diatas setidaknya menjadi acuan untuk berfikir lebih jernih, apa yang selama ini dibayangkan, belum tentu seperti apa sebenarnya. Hanya sekadar latah ikut-ikutan menghujat, tanpa alasan yang jelas dan maunya apa?
Untuk mencapai hal dan output yang baik, apakah kita masih membutuhkan pandangan negatif dalam menyikapi segala hal kemungkinan perbedaan? Sampai kapan aura negatif akan mengemuka di mata, hati dan pikiran. Semoga lekas sembuh!

Posted by Unknown, Published at 7:55 AM
Copyright © 2013 HollaBali | thanks to google